Sumber: Agar Posting Blog tidak bisa di Copy Paste! | jagoBlog.com

Selasa, 21 November 2017

Komunikasi Pendidikan Iman

Psycho Coffee for Thursday

Oleh : Ani Ch, penulis dan pemerhati pendidikan keluarga

Aqidah Akhlaq  Edition
19 Oktober 2017

Komunikasi Pendidikan Iman

☕▫☕▫☕▫☕▫☕

Saya bersama beberapa orang, melakukan sebuah diskusi persiapan workshop parenting, waktu kami berbicara tentang fenomena tantangan aqidah bagi pemuda. Kemudian, salah satu anggota tim mengusulkan pembahasan kasus berikut,
"Ananda merasa sudah sholat rutin, tapi sesuatu/hasil yang ia dapatkan tidak sesuai dengan yang didoakan.. dan melihat orang yang sholat nya tidak rutin sepertinya keinginannya terkabul, malah lebih sukses. Akhirnya ananda merasa dan berpikir buat apa aku sholat kalau keinginan-keinginanku tidak pernah terkabul"

Bagi kita yang merasa imannya beres, mungkin saja bisa dengan mudah mengatasi hal semacam ini. Kita tahu, bahwa ketika doa kita belum terkabul...itu artinya, hanya belum saja..akan datang suatu saat, akan indah pada waktunya menurut Allah. Atau..Allah pastilah menilai apa yang kita minta, tidak sesuai dengan apa yang kita butuhkan, maka akan diganti dengan yang lain, yang lebih baik.

Bisakah, anak-anak kita mengalami hal tersebut? Mari saya contohkan beberapa hal..

Ada seorang anak umur 4 tahun, suka tantrum di sekolah..setiap ada yang tidak berkenan di hatinya, dia bisa ngamuk sama semua orang, usut punya usut...Ada beberapa kali 'bahasa mengancam' di rumah, oleh ayahnya, _"Awas kamu, kalo nggak diem, tak masukkan kamar mandi"_. Ternyata, bahasa ancaman meninggalkan ketakutan dalam diri anak, maka ketika di sekolah ada 'sedikit bahasa peringatan', dia pikir itu ancaman, maka dia lawan dengan tantrumnya. *Komunikasi negatif, meninggalkan persepsi negatif.* Maka jika anak ini diajak untuk berdoa, dia menolak. Wajar kan...anak bisa saja berpikir, buat apa aku berdoa, toh aku tetap terancam.

Seorang anak umur 9 tahun, suka sekali berbohong...usut punya usut ibunya begitu perfeksionis, lebih sering mengkritik dan menyalahkan. *Komunikasi negatif meninggalkan persepsi negatif.* Anak ini pun merasakan betapa tidak enak merasa bersalah itu, entah darimana dia belajar, dia mulai berbohong...dia hanya ceritakan yang baik-baik saja di sekolah, dia hanya beritahukan nilai yang bagus saja, dia hanya ceritakan teman yang baik saja. Sisanya dia tutupi dengan kebohongan. Maka cobalah bilang pada anak ini : sayang..bohong itu dosa, tidakkah kami takut pada Allah. Tidak akan _nyantol_ nasihat tersebut, anak ini telah menjadikan kebohongan sebagai sarana penyelamatan dirinya. Bahkan anak bisa saja mikir, _dimana Allah waktu aku disalah-salahkan sama Mama. Mama gak sayang aku, Allah juga gak sayang aku._

Seorang pemuda berumur 23 tahun, menjawab : _*waktu SMA*_, saat saya tanya kapan terakhir kali dia minta pertolongan pada Allah. Bagaimana bisa? Bisa saja, karena sepanjang hidupnya tinggal bersama Ayah dan Ibu yang sibuk bekerja. Ketika dia cerita dibully waktu SD, hanya dibilangi : kamu belajar aja yang rajin, nggak usah urus temanmu. Saat SMP dia cerita, hanya dijawab : Kamu yang salah bergaul. *Komunikasi tanpa memahami perasaan anak semacam ini, meninggalkan persepsi negatif dalam diri anak*, betapa tidak ada yang mengerti aku.Maka saat SMA, dia saksikan pertengkaran ayah ibunya, dia tertekan luar biasa. Seorang teman menyuruhnya berdoa, maka dia berdoa mohon pada Allah, ada kedamaian di rumahnya. Tapi tak kunjung selesai pertikaian orangtuanya. Sejak saat itu, dia berhenti berdoa.

☕▫☕▫☕▫☕▫☕

Cara kita berkomunikasi dengan anak-anak kita akan selalu meninggalkan persepsi, jika positif komunikasi kita..maka positif lah persepsinya. Jika komunikasi kita negatif, maka akan meninggalkan jejak persepsi negatif. Tentunya persepsi negatif, menjauhkan anak-anak kita dari optimisme akan hidup. *Jika anak-anak kita tidak optimis akan hidup ini, maka sulitlah kita ajak untuk terus beriman pada Allah*. Maka salah satu kunci pendidikan iman adalah komunikasi positif dengan anak-anak kita.

Sebagaimana, tuntunan dakwah yang diberikan Rasulullah Muhammad SAW, bisa kita simak   dalam sabdanya, *"yassiru wala tu’assiru wabasysyiru wala tunafiru"*, mudahkanlah dan janganlah engkau persulit orang lain dan berilah kabar gembira pada mereka, jangan membuat mereka menjadi lari (HR. Bukhari).

Maka tepatlah kiranya saya mencuplik kampanye Bu Elly Risman tentang perlunya kita menghindari sekian banyak Gaya Populer Komunikasi dalam Pengasuhan Anak, yang ternyata menjadi sumber hambatan perkembangan anak. Mengancam, menyindir, membandingkan, membohongi, melabel, meremehkan, dan masih banyak lagi, silakan dipelajari.

Bentuk-bentuk komunikasi ini, bukan hanya menjadi hambatab perkembangan anak, yang mengerikan adalah akan menjadi hambatan pendidikan iman.

Bagi anak-anak kecil...jangan sampai mereka ketakutan dengan cara komunikasi kita. Jika mereka terlalu sering takut, mereka bisa tidak percaya Allah. Jika anak merasa aman dengan cara bicara kita, mereka akan bisa berpikir suatu saat, Allah yang baik telah kirimkan aku kedua orangtua yang baik. Allah baik, Allah hebat, Allah luar biasa harus terlebih dahulu tertanam dalam diri anak kita. Rasa takut pada Allah akan kita ajarkan nanti, saat mereka sudah mulai memahami logika.

Mari kita ciptakan komunikasi yang membuat anak percaya diri, bangga pada dirinya. Sehingga suatu saat akan dia yakini, Allah begitu baiknya menganugerahi aku, kedua orangtua yang luar biasa, yang mendidikku jadi anak hebat.

Mari kita pahami perasaan anak-anak kita, sehingga anak kita merasa bahagia, dan suatu ketika ada hikmah yang dia dapat, aku bersyukur memiliki kedua orangtuaku, dan aku bersyukur pada Allah...anak kita akan menjadi sholeh, sebagaimana sholehnya putra Luqman yang dikenang di dalam Quran.

Semoga kita dikaruniai anak sholeh yang seperti putra Luqman itu, aamiin...

☕▫☕▫☕▫☕▫☕

For further question or feedback please email psychocoffeemorning@gmail.com


Tidak ada komentar: